Akhiri Ini Dengan Ambyar: Sing Yesterday for Me Anime Final Impression
WARNING: post ini sangat panjang (sekitar 5000 kata, 11 halaman A4 so yeah prepare your time first) membahas adaptasi anime DAN komparasinya dengan versi manga sehingga otomatis bakal berisi spoiler termasuk ending versi manganya. Lanjutkan jika anda sudah membaca manganya atau tidak berminat untuk membacanya sama sekali (sesuatu yang sebenarnya tidak saya rekomen karena banyak hal di manga yang tidak ada di anime). Alrite now let’s go!
Sebenarnya, in general, adaptasi anime dari manga favorit saya sepanjang masa ini bisa dibilang good enough, lebih dari good enough malah kalau kita bicara soal episode awal-awalnya. Selain punya visual yang distinctive ditambah kualitas yang konsisten, akting seiyuu nya benar-benar sangat hebat. Suara Uozumi yang sedikit gugup tiap kali ada Shinako, suara Haru yang punya 2 mode, ceria dan galau, dan keduanya terasa genuine, dan tentu saja Kanahana (selamat menempuh hidup baru dengan slaine troyard) yang bisa menghidupkan Shinako dengan suara “bukan gadis sma tapi juga bukan wanita dewasa” dengan subtle hint of fragility dan kepolosan yang beracun. Belum lagi detail-detail kecil dan gesture yang subtle seperti saat Shinako geser mundur sedikit, pengambilan angle dramatis dan musik latar yang cocok dengan atmosfer cerita ini. Anime ini juga tidak mempunyai OP song, yang selain membuatnya terasa lebih seperti dorama juga less episodical and more like reliving a part of one long diary. Dengan kata lain, yes, they have successfully nailed the thing that makes me fall in love with Yesterday wo Utatte; THE AMBIENCE.
Membaca Sing Yesterday for Me rasanya seperti tiduran di tengah malam dengan suara kresek-kresek dari radio yang disetel dalam volume pelan. Atau seperti minum sesuatu yang hangat di dalam rumah sambil melihat hujan yang turun di luar. Atau seperti melakukan pekerjaan ringan, bersih-bersih misalnya, sambil mendengarkan radio di sebuah hari yang panas. Lewat dialog dan karakter-karakter di serial ini, Kei Toumei merangkai sebuah cerita yang dekat dan membumi dengan efek sedatif. Cerita tanpa karakter jahat di dalamnya tapi bisa mempunyai konflik yang mampu menyesakkan dada. Inilah kenapa saya membuat project iseng sub boso jowo, karena down to earth feeling serial ini jika harus dibawa ke dalam percakapan sehari-hari mau tidak mau bakal jadi bahasa loe-gue anak ibukota, karena mana ada pengguna bahasa Indonesia dalam keseharian yang memakai kata aku kamu, sementara kalau pakai saya anda atau saya kamu jadinya malah tambah aneh, beda dengan boso jowo dimana pemakaian aku pada percakapan sehari-sehari ke orang lain lumrah-lumrah saja.
Kembali soal serial ini, inilah kenapa ketika animenya dikabarkan akan mempunyai 12+6 episode, semua orang menyambut dengan hype yang luar biasa, karena porsi episodenya akan cukup untuk mengcover materi dari manganya tanpa perubahan pacing yang signifikan. Tapi ternyata animenya hanya memiliki 12 episode dengan 6 mini episode, yang membuat beberapa fans langsung berubah ke mode waspada ketika beberapa karakter yang seharusnya muncul tapi tidak keluar-keluar begitu juga dengan beberapa adegan yang epico.
Dengan hanya berbekal 12 episode, bukan hal yang mengejutkan jika animenya akhirnya harus mempercepat pacing dan mengakhiri dengan ending (yang sedikit) original. A bitter pill to swallow. Apa yang tadinya terasa seperti jalan-jalan santai di taman jadi seperti setengah berlari tergesa-gesa karena sebentar lagi kereta bakal berangkat. Obrolan muter-muter ngalor ngidul yang jadi ciri khas sekaligus charm di manganya pun banyak yang akhirnya harus terkena potong.
Seperti yang bisa dilihat, manga aslinya text heavy, tapi karena isinya cuma obrolan ditambah Kei Toumei sangat handal dalam membuat percakapan yang ngalir (silakan baca manga-manga lain beliau) jadi semakin banyak teks membacanya malah semakin enak, dibanding text heavy karena eksposisi atau analisa serial detektif yang bikin puyeng. Membaca dialog-dialog seperti di atas sambil nyetel slow pop 90s seperti Anzen Chitai menghasilkan efek ULTIï¼ï¼¡ï¼´ï¼¥ CHILL EXPERIENCE.
Alas, kita terpaksa harus puas dengan 12 episode anime. Dan bukan itu saja, namun versi animenya tidak memunculkan banyak karakter dan kalaupun muncul hanya sebatas sekilas-sekilas saja, padahal hal kedua setelah ambience (perpaduan dialog dan monolog dengan setting adegan), yang membuat saya menyukai manganya adalah bagaimana ceritanya melibatkan BANYAK karakter underdog yang semuanya saling berkaitan. Yesterday wo Utatte adalah cerita tentang the struggle of losers, yang punya masalah masing-masing tentang masa lalu dan masa depan mereka. Orang-orang ini, meminjam tagline adaptasi versi animenya, adalah mereka yang hidup dengan 49% melangkah mundur dan 51% menapak maju. Dan karakter-karakter ini SALING TERHUBUNG. Sekali lagi saya salut dengan bagaimana Kei Toumei menciptakan karakter-karakter dalam cerita ini, masing-masing punya link ke karakter lain dan saling berinteraksi tanpa jadi terasa maksa. Bahkan karakter yang sudah tidak keluar lagi pun ada yang kemudian muncul lagi. Seperti seorang teman yang sudah lama tidak terdengar kabarnya dan naturally flowing in dan bercengkrama lagi instead of mau ngutang atau nawarin ikut MLM. Dan hebatnya lagi semuanya punya benang merah as the outcast of society. Chapter pertama manga ini judulnya “The One Who Wants to Live Differently to Society Must Also Make The Effort to Put Himself Into Question". Adaptasi animenya juga sepertinya memahami ini karena judul episode pertamanya “The Outcasts of Society Who Aims to Change Themselves”. So yeah, We Live in Society. Wait, bukan itu, maksud saya adalah serial ini, Sing Yesterday for Me, mampu mengangkat kisah tentang manusia-manusia mediocre yang hidup dengan segala permasalahan yang tidak krusial namun juga tidak sepele, dengan emosi-emosi yang membangun dan menghancurkan, dengan memori-memori dan impian-impian. Sadly these feelings are lost in anime adaptation because they went with "hey, let's make this a love story about four people" instead. Kinda justified sebenarnya karena di manganya sendiri memang 4 orang itu (Rikuo, Haru, Shinako, Rou) disebut dengan “main characters”, jadi esensi ceritanya memang di 4 orang itu, however what makes the manga soo good is because the interwoven of main characters and all those around them. Wikipedia JP sendiri mencatat ada 24(!) karakter di manga ini, so once again if you only watch the anime, you’re missing a lot.
On a lighter note, setidaknya animenya punya point plus lain, perbedaan antara siang dan malam benar-benar terasa karena di versi manga kadang adegan berubah menjadi background putih, atau hitam tapi dengan area putih di sekitar karakter yang membuat pembaca kadang lupa jika settingnya saat malam hari.
See what I mean?
Now let’s go deeper to the manga version ending and also my thoughts of each character in this wonderful story.
Serupa tapi tak sama, kurang lebih seperti itu impresi saat membandingkan versi anime dengan manganya. Hingga di episode terakhir pun versi animenya sebenarnya masih tetap mencoba true to the roots dengan mengutip beberapa kata-kata yang juga memang ada di chapter-chapter akhir manga. Tapi secara jika diamati lebih cermat, ada perbedaan yang cukup esensial. Pertama, karakter-karakter di versi manga sudah mengalami chara development yang lebih signifikan dari adegan dan dialog yang tidak ada di anime. Seperti Haru yang sudah bertemu Amamiya, lalu mendapat wejangan dari neneknya sebelum last chapter sementara di anime interaksinya hanya sebatas dengan mbak Kyouko dan ibunya. Ini yang membuat di episode terakhir animenya terasa banyak adegan yang out of nowhere. Lalu perbedaan kedua;
Rikuo yang mencium Haru. Ini membuktikan jika pada akhirnya Rikuo memang memilih Haru. Berbeda dengan di anime dimana Haru yang mencium Rikuo, esensi move on nya Rikuo hilang, terganti dengan “okay now that I’m your girlfriend I have the right to kiss you”. Juga karena di manga saat adegan ini Haru tidak menolak, bandingkan dengan saat Shinako hendak dicium Rikuo, Haru juga tidak menghajar Rikuo setelah dicium, berarti Haru juga menerima Rikuo. Dan berbeda dengan di anime, di manga adegan ini tidak ada blatant confession, tidak ada kansuke yang jadi mak comblang dadakan, bahkan Rikuo pun datang hanya untuk ngobrol sebentar lalu balik lagi, tapi Haru memeluknya dari belakang, Rikuo balik badan lalu mencium Haru sebelum lanjut berjalan lagi. And that’s it! That’s the ending, karena setelah ini tidak diperlihatkan Rikuo dan Haru lagi. Chapter selanjutnya hanya sekedar omake dengan setting nikahannya Kyouko, jadi bisa dibilang climax sekaligus true final scene nya Yesterday wo Utatte untuk Rikuo dan Haru adalah panel ini. Adegan ini simple tapi meaningful dan mungkin memang sengaja dibikin ambigu oleh Kei Toumei supaya tiap orang punya interpretasi masing-masing, personally kalo buat saya adegan ini adalah mutual moment, ingat kata-kata Fukuda soal once in a lifetime chance? Di sini baik Haru maupun Rikuo sama-sama punya moment itu, dan keduanya memutuskan untuk menggunakannya. And it works. Jika Rikuo memakai “jangan pegang-pegang gue” seperti sering dipakai jika Haru mulai meluk-meluk, atau jika Haru ngamuk dengan “gw cuma loe anggep cadangan” seperti biasanya, ending manga ini akan jadi tipikal back to status quo yang klise dan sudah terlalu sering dipakai di anime-anime. But Rikuo accepts Haru’s hug and Haru accepts Rikuo’s kiss. And that's the conclusion of the manga that took 18 years to end. There’s some kind of uncertainty but everything will be daijoubu when you finish the manga.
*lagu bossa nova boso jowo playing in the background while credit rolls*
Tentu saja hasil akhirnya sama antara manga dan anime karena di chapter selanjutnya, Rikuo dan Haru sudah jadi couple dan Haru ngomong ke Kyouko soal rencananya supaya Rikuo melamarnya, adegan yang sama dengan di anime. Tapi esensi kenapa bisa sampai ke situnya jauh berbeda.
Selanjutnya saya akan menulis impresi tentang karakter-karakter di manga ini, mumpung masih dalam fanboy mode.
Rikuo adalah kita, kita adalah Rikuo. Meskipun banyak dibash sebagai bucin nya Shinako, tapi tidak bisa dipungkiri kalau setiap cowok pasti pernah berada di posisi Rikuo. Yang menarik dari Rikuo adalah bahwa meskipun nasibnya sangat mengenaskan jika dibanding dengan karakter protag anime harem (reality slap!) tapi dia sebenarnya tidak seloser yang kita bayangkan. We see him getting rejected and played around like Shinako’s string puppet but he’s actually sociable enough to hangout with women. Interaksinya dengan Haru dan Kyouko juga tidak seperti tipikal protag anime yang awkward and embarrassing. Jangan lupa juga jika dulu dia dengan Shinako saat kuliah malah deket banget, also he has ex girlfriend, sesuatu yang jarang dimiliki protag anime drama. Yang bisa membuat Rikuo jadi grogi cuma Shinako post time skip (kalo bahasa One Piece nya) dimana dia yang dulu potongannya masih kaya adek-adek mahasiswi yang bawa tas punggung pakai jaket almamater, eh itu kalo di sini ding ya, sekarang berubah jadi mbak-mbak OL fashionable ala model fanpage SHW (ingat saat Rou ngomong Shinako yang sekarang pake make up?). Which brings me to my second point, Rikuo is the reminiscence of our phase back then when we don't give a shit about moe stereotypes. Setelah terjun terlalu dalam ke dalam lubang moe, we usually choose the moe traits or elements that would associate with us. Misalnya seperti rambut panjang + kepang dua + kacamata + dada besar -> auto register to waifu category. If no such attribute -> not waifu material. Rikuo is the remnant of time when the source of our pure dokidoki feeling isn’t dictated by category. Because we’ve consumed so much of artificial traits, we forgot that appearance is not everything. I mean look at Shinako. Short hair, small chest, no megane, but lovely. Ok Hanakana voice counts but I like Shinako even since back then when reading the manga (no voice) so it's not a big factor. So what is it with Shinako that cancels out all the moe traits? Maybe each of us has our own answer but this series makes you think of what is true and what is artificial. Ok let's stop before this post gets more and more depressing.
(sauce)
Meskipun demikian, not that I hate for not still being a Rikuo, because after revisiting the series after 16 years (yeah I read the manga in 2004), there are few mistakes I can point out, yang membuat Rikuo went from “gUE bAnGeT” jadi “kenapa dulu saya bisa segoblog orang ini”:
- Not accepting Shinako’s invitation, this is the most obvious sin, er, I mean, mistake, because wtf why are you backing down? Dan lucunya sekarang saya malah lupa kenapa dulu bisa mikir that what Rikuo did is the right thing to do.
- Not having something to talk about. Hard to believe that Rikuo and Shinako can hangout for a long time during their campus days and suddenly things fall into silence. But well, when shit happens, it happens. Rikuo should’ve been more prepared with the encounter.
- Not having confidence. Kinda justified sih di awal karena yang dulunya sama-sama anak kuliah sekarang stats nya beda, kasir indomar*t sama guru SMA. But Rikuo finally gets a steady job and he acts like he’s still losing his momentum. Well, in the park scene in the final eps/volume I think he did great making himself stand on the same footing with Shinako, dan inilah kenapa scene yang itu bisa terasa nyaman sama seperti dulu waktu jaman kuliah.
Still, it depends on Shinako because the roots of these is more about Shinako and less about Rikuo but I’ll explain that later in Shinako’s part.
Bonus section: karena ini adalah cerita generasi 90an, lagunya Rikuo seandainya diadaptasi dengan setting sini: Dewa 19 - Risalah Hati
Haru
Before this manga was called “Sing Yesterday for Me”, Kei Toume wanted to use “Haru” as the title, but the editor suggested the title to be changed. Let that info sink for a moment. Then look at this picture.
Yes, it’s all about Haru. Dan setelah membaca ulang manganya, tiba-tiba saya merasa, what if, all of these.. is actually a story about Haru, through Rikuo’s eyes? DUN DUN DUNN *mindblown.gif* Tentu saja Kei Toumei mungkin tidak berpikir sampai sejauh itu, but it sounds make sense to me. Hey, my name is Haru and this is a story about how I fall in love with a dumb guy. Lagipula manga Haru lebih kompleks daripada anime Haru. Banyak yang tidak puas dengan Haru di endingnya (team Shinako tentu saja, hae gaess) karena seperti memberikan ilusi if you keep on being annoyance to the guy you likes, he will start dating you. Sementara di sisi seberang, team Haru akan berdalih must protecc, so sweet and preciouss, look at how she keeps on fighting (emang Rikuo nggak?). What the anime only watcher missed, is that Haru di manga tidak hanya terus-terusan jadi petrus (pepet terus) tapi lebih realistis, ada fase ah mbuhlah yang lebih terasa, dan tentu saja ada Amamiya, cowok yang ngejar-ngejar Haru sampai sempat jadi pelarian Haru. Inilah yang membuat manga Haru tidak se-innocent anime Haru tapi di sisi lain justru lebih menarik karena realistis. Amamiya sendiri juga punya Mimori, cewek teman masa kecil yang menyukainya, lalu ditambah Minato yang muncul lagi, membuat Haru versi manga lebih kompleks sehingga bisa dibilang di final scene, Haru yang dihadapi Rikuo sudah bukan cuma pilihan kedua seperti lagunya Astrid tapi Haru yang sudah level up dan tidak bisa dipandang sebelah mata. I also have choices, you know? Dan meskipun Haru di final chapter ini sudah menolak Minato dan Amamiya, tapi dia bukan Haru yang menolak karena menyukai Rikuo, tapi karena menyukai Rikuo dan punya self respect (uwoogh). She finally understands her worth, in fact I think she even has the power to reject Rikuo now tapi dia memilih untuk menerima Rikuo. Inilah kenapa biarpun saya ngeship Shinako tapi tidak masalah dengan ending manganya, meskipun terlihat seperti “lho kok udah? gitu aja?” But it's actually so beautiful and conclusive.
![]() |
Reminder that Haru versi manga lebih hardcore |
Di epilog chapter sendiri, tidak diperlihatkan baik Haru maupun Rikuo, tapi kita tau dari percakapan antara Kyouko dengan Takako (adiknya Kinoshita, teman kerja Rikuo di minimarket dulu, yep another character that didn’t appear in anime), jika Haru sudah officially jadian dengan Rikuo, meskipun kalo orang yang nggak tau bakal melihat mereka berdua seperti kakak beradik karena di jalan masih gebuk-gebukan.
...which makes me think, does that kind of relationship count as ideal? Apakah memperlakukan pasangan seperti Rikuo ke Haru is considered not a mature kind of relationship? Or maybe it's more about public and nonpublic persona, sama kaya hobi? I don’t think Haru's still-childish personality is wrong, we're not talking about negative traits, it's just like, because a relationship between adults is something mature, and because maturity is mostly synonymous with calm and refined, do we have to change the too cheerful personality to be ideal? Or is the criteria of something ideal is subjective? Please write in the comment if you have some thought to share.
Bonus section: karena ini adalah cerita generasi 90an, lagunya Haru seandainya diadaptasi dengan setting sini: Cokelat - Jauh
Rou
WHEN I WAS. A YOUNG BOY.
The oh so edgy emo kid of this series. But also the one who gets the most mistreatment in the anime version. Kenapa? Karena animenya cuma sampai Rou lulus SMA, sementara di manga ceritanya berlanjut hingga dia kuliah di fakultas seni, menekuni jalan yang sudah dipilihnya, bahkan akhirnya dekat dengan Rio, salah satu model lukisan yang smexy af. He is no longer the selfish little brat tapi seorang artisan. Tapi tentu saja masih tetap ngejar-ngejar Shinako.
Yang menarik adalah bagaimana tiap Rikuo berjalan menjauh dari Shinako, Shinako cuma diem aja, tapi kalau Rou yang balik badan, Shinako ngejar-ngejar bahkan sampai minta maaf. Jadi memang dari awal Rikuo memang sudah kena handicap cuma segitu sama Shinako, meskipun Shinako melakukan itu (ngejar sampai manggil-manggil Rou) lebih karena familial love ditambah handicap karena tampilannya Rou mirip dengan kakaknya.
The manga itself ended with Rou masih tetep ngebucin Shinako, despite all that have happened dan dengan intensitas yang sudah tidak se-ngoyo dulu, sesuatu yang bikin Rio geleng-geleng kepala. Once again manga ini menjelaskan kalo tipe kesukaan cowok sebenarnya tidak selalu sesuai dengan standar umum, I mean kalo dibandingin sama Rio yang model jelas-jelas Shinako kalah secara body dan penampilan, tapi ya begitulah, love is blind.
Will Rou finally get to be with Shinako? Manganya tidak membahas sampai itu but personally I don't think so. Detail alasannya nanti ditulis di bagian Shinako di bawah but basically I think once he grows up he can see how selfish Shinako is and either go back to Rio (chemistry mereka nyambung banget secara sama-sama orang dunia seni) or find other girl. The world is still vast for Rou and his adventure has just begun.
Bonus section: karena ini adalah cerita generasi 90an, lagunya Rou seandainya diadaptasi dengan setting sini: Slank - Terlalu Manis
Chika
The antithesis of Shinako. Karena karakternya yang tampak lebih experienced dan emotionally stable dibanding yang lain, banyak yang mengidolakan Chika sebagai karakter favorit, melupakan fakta kalo at the core, Chika is a playgirl. 180 derajat dengan Shinako yang hobinya menyirami orang lain dengan perhatian, Chika menginginkan perhatian dari orang lain. Personally I think meskipun Chika terasa lebih approachable, tapi kecenderungannya untuk melompat-lompat dari satu cowok ke cowok lain malah lebih berbahaya daripada Shinako yang tidak punya experience karena invisible wall yang bikin mental attack. Actually, scratch that, both are pretty terrible.
That being said, Chika is better at handling issues daripada karakter lainnya, seperti saat terjadi salah paham, dia cepet tanggap dan langsung menyelesaikan tanpa harus jadi berlarut-larut ala anime drama comedy seperti Maison Ikkoku atau School Rumble atau Nozaki. Sadly, nothing much I can write about this character karena tidak kebawa plot di chapter-chapter final (more like I forgot her ending orz).
Bonus section: karena ini adalah cerita generasi 90an, lagunya Chika seandainya diadaptasi dengan setting sini: Potret - Salah
Izawa
Atau lebih dikenal dengan Pak Kuma. Sama seperti Rou, versi anime didn’t do his story justice, malah lebih parah lagi karena di anime tidak dijelaskan bagaimana dia akhirnya bisa menikah dengan mbak Kyouko, padahal itu salah satu plot dramatis di manganya. Pak Kuma panutan qta.
Dulu pas membaca bagian ini tidak bisa membayangkan kalau akhirnya endingnya berakhir bahagia, bahkan sampai nikah, that’s how epic Pak Kuma story is, too bad sekarang sudah jadi general spoiler, jadi kalau sudah nonton animenya lalu membaca manganya, surprise dan gregetnya jadi berkurang.
Bonus section: karena ini adalah cerita generasi 90an, lagunya Izawa seandainya diadaptasi dengan setting sini: Katon Bagaskara - Meniti Hutan Cemara
Kyouko
The real BEST GRILL of this series. Mbak Kyouko, aq padamu Mbak! Sayangnya baik di anime maupun manga, tidak dijelaskan bagaimana masa lalu pemilik cafe sekaligus bar Milk Hall ini (kecuali dia suka meido, could she be secretly otaku? ww). Tapi mungkin Kei Toume sengaja tidak membuat cerita tentang masa lalunya karena charm mysterious wise lady nya bisa hilang jika tidak di handle dengan baik.
As for her ending, of course we’re all already know, tapi anime only watcher jelas bakal melewatkan banyak scene yang epic, termasuk adegan Kyouko dengan gaun pengantin lungsuran (bahasa jawa untuk handed down) dari ibunya dan bagaimana kotak make up nya isinya sangat simple sampai harus di backup oleh Takako untuk soal riasan. Milk Hall sendiri bisa dibilang hub nya serial ini karena biasanya buat tempat kumpul atau nongkrong karakter serial ini. Posisi Kyouko sebagai godmother di serial inilah personally yang membuat saya merasa ketika di ending dia mendapat ending yang paling jelas dan konklusif dibanding karakter lainnya malah justru memuaskan. In my opinion she's the one who deserves the wedding scene in the closing, daripada endingnya jadi pernikahan Haru dan Rikuo, karena selain klise juga bakal terasa maksa.
Bonus section: karena ini adalah cerita generasi 90an, lagunya Kyouko seandainya diadaptasi dengan setting sini: Siti Nurhaliza - Betapa Ku Cinta Padamu.
THE QUEEN OF SIMP SHINAKO. Ok this is gonna be long so be prepared (as if this post was not already long lol). Sebelumnya saya akan menjelaskan tentang teori gaya drama jaman old versus gaya drama jaman now. I know it could be a generalization but bear with me for a while. Ketika genre harem mulai populer, sepertinya beberapa creator mulai menyadari jika cerita dengan banyak open route punya potensi untuk menjangkau lebih banyak kalangan daripada yang fixed route. Mungkin ini dipengaruhi atau ada kaitannya dengan galge/bishoujo game. Lalu terjadilah shift dari single love interest ke multiple love interest (karena sepertinya perpindahan ini tidak terbatas pada genre untuk cowok juga tapi juga untuk cewek dengan lahirnya istilah gyaku harem). Pada drama jaman old, kita sudah yakin jika pada akhirnya protag bakalan sama shoujo A. Misalnya Ranma dan Akane (Ranma ½), atau Goudai dan Kyouko (Maison Ikkoku), atau kalau shoujo ya Sakura sama Shaoran, Usagi sama Mamoru. Meskipun dibikin jadi genre harem, dari awal kita sudah tau siapa main heroine nya yang bakal jadi pasangan protagonist. Misalnya Keitarou dan Naru (Love Hina), Kaoru dan Aoi (Ai Yori Aoshi) atau Kyon dan Haruhi, kalo di JRPG ya Xenogears atau FF8. Jumlah heroine memang bertambah, tapi pembaca/penonton sudah tau kalo nothing significant will happen dan ujung-ujungnya pasti bakalan sama main heroine. Meskipun gaya cerita seperti lebih menjangkau banyak penggemar, tapi ada kekurangannya. Selama main heroine nya bukan tipe yang cocok dengan preferensi yang baca/nonton, people interest wont get that far. Misal type kalian bukan cewek kaya Haruhi ya hype nya gak bakal bisa semaksimal yang waifunya Haruhi (maybe). Entah karena ini atau hal lainnya, yang jelas terjadi shifting lagi dalam genre drama dan sekarang EVERY heroine is main heroine. Semuanya punya chance yang sama untuk bersanding di sisi protag di akhir cerita. Jangkauan penggemarnya menjadi lebih luas karena semua orang punya team waifu yang didukung, the waifu war is blooming (dan seperti kata Ou Yang Feng si racun barat, war means business). Bahkan JRPG yang dulunya punya main heroine yang sudah fix sekarang bisa bercabang rutenya seperti Persona. Tipe harem yang terakhir ini lebih dinamis karena tidak ada yang bisa menebak siapa yang akhirnya mendapat piala. Tapi di sisi lain juga bikin ilfeel penggemar tipe harem yang pertama. Karena protagnya jadi terkesan plin plan gak jelas dan tidak setia. Mending yang dari awal sudah fokus ke satu target lalu kita mengikuti sepak terjangnya jatuh bangun mandi keringat darah dan air mata sampai akhirnya berhasil, atau malah gagal, tapi hasil akhirnya gak penting selama proses perdjoeangannya soenggoeh mengharoe biroe. Minusnya ya seperti yang saya tulis tadi, kalo heroinenya bukan selera anda ya gak bakal ada keinginan untuk invest di serial tersebut, malah udah males duluan biasanya (ngapain jadi bucin ke cewek yang bukan tipe kita). Anyway, sebenarnya ada 1 tipe lagi yang berada di tengah-tengah, dan inilah yang dipakai Yesterday wo Utatte, dan FF7, dan Evangelion. Yes, DUAL HEROINE. Personally kalo saya bilang ini formula yang pas untuk drama karena intensitasnya bisa sama seperti single heroine tapi potensi untuk waifu war juga tetep ada dan malah lebih sengit karena HANYA ADA 2 KUTUB. Jika bukan golongan kami berarti anda termasuk golongan mereka. Pick a side and waaar because love is war kata Hatsune Miku tapi sekarang lebih banyak diucapkan oleh fans nya Kaguya-sama. Anyway dengan formula 2 polar ini, siang dan malam, air dan api, elemen ketidakpastian juga masih bisa dijaga intensitasnya. Saya masih ingat saat membaca volume terakhirnya (yang waktu itu masih raw) perasaan excitement bercampur bingungnya masih tidak turun. Come on Rikuooo decide decide decide. So yeah I think untuk tema-tema yang karakternya ngambang seperti ini, dual heroine is the ideal formula. Kalo protagnya tipe yang penuh semangat bergelora lebih cocok yang single heroine.
Anyway back to our queen Shinako.
Kenapa Rikuo mendadak bucin sama Shinako? Soalnya jaman dulu belum kenal skincare kk
What makes Shinako an interesting character? I think it's because of many elements; first of all, she’s a walking contradiction. She’s the kind of girl that feels lacking even though she already has high stats. Justified sih soalnya biarpun kalau dibandingkan sama Rikuo dan Haru dia sudah punya kerjaan tetap tapi di lingkungan kerjanya dia termasuk junior. There’s a gap moe between her mature and independent self that makes you want to be doted on with her fragile appearance and seems always in an insecure condition that makes you want to protecc. Di satu sisi dia punya skill masak rate S++ di satu sisi dia ngomong soal how her life has stopped from moving. Ara ara mommy but also kawaii imouto. Bagi penggemar gap moe, Shinako is one hell of a dream chara.
The second charm, I think, ada di penampilannya yang mempesona but just a bit above the average. Shinako is pretty, we know that, kedua bucinnya Shinako sama-sama visual person (Uozumi fotografer, Rou pelukis) so of course they acknowledge her physical charm. But she’s not the kind of 9 out of 10 pretty (that would be Rio, cewek yang jadi modelnya Rou). Both Rikuo and Rou have some issues with their confidence so Shinako stats being a bit above average is perfect. Bayangkan ada idol atau cosplayer yang page FB atau IG nya di atas 20K follower, yang pengen jadi cowoknya sampai ngantri dan diantara yang antri itu banyak cowok tier SSR, apalah kita (saya) yang tiernya R atau malah N. Tapi stats a bit above the average is difference, chance of possibility nya tidak terasa seperti gacha lagi. There IS hope (even though hope is a dangerous thing). Inilah kenapa beda dengan anime yang di rush, di manga tarik ulurnya Shinako lebih terasa. Karena tidak perfect, harapannya jadi terasa lebih real, it's like she’s always one reach away.
Except that she is NOT one reach away. She is OUT OF REACH. Which makes her the perfect villain, for the lack of better word, karena di serial ini gak ada villainnya. And to make it more horrible, she did all her moves without realizing that it's toxic. Tipe cewek yang secara tidak sadar bikin bencana. A perfect character for vilainless drama like Yesterday. Back to the first sentence, how faraway is Shinako? It's further than what you think of. The truth is Shinako’s actual standard is pretty high, remember that she said “You don't know your way with girls” but actually Rikuo is not that bad with a girl, he even had an ex once. And what about when Rikuo finally got the courage to try to kiss Shinako but she rejects it saying I'm not ready. Morita is right, the real final boss that everyone is trying to beat is Yuu in Shinako’s memory that’s already glossed over with rose colored pastel of nostalgia. And it’s probably impossible to beat.
Tapi bahkan jika mengesampingkan Yuu versi memori, baik Rikuo maupun Rou sama-sama kecil chance nya untuk bisa jadi pasangan the simp queen. Karena dari Yuu kita bisa mencoba menyimpulkan tipe cowok Shinako adalah seseorang yang bisa di look up to aka big brother, trait yang tidak dimiliki Rikuo maupun Rou. Yuu sendiri adalah karakter yang menarik karena di satu sisi dia very capable and dependable, di sisi lain fisiknya yang lemah membuatnya butuh orang untuk merawatnya, meskipun dia sendiri tidak suka. Kombinasi yang cocok banget dengan Shinako karena dia ingin seseorang yang bisa diandalkan sekaligus juga bisa memakai skill housewife nya untuk merawat Yuu. That, ditambah handicap dari rose tinted glass of nostalgia membuat susah untuk berpindah hati.
Hebatnya lagi, frame terakhir dari manga ini adalah gambar di atas (ya, yang di foto itu jari saya, pamer sedikit boleh dong huehue). Tanpa dialog, tanpa penjelasan (halaman sebelumnya adegan Rou dengan Rio). Seakan-akan menegaskan jika Shinako adalah satu-satunya elemen yang tak berubah.
I AM UNTOUCHABLEI AM UNCHANGINGFrom the beginning to the endHere and alone with my memoriesRuling over no one
So yeah, unless magical things happen, like she changes her perspective atau Rikuo pergi bertapa, lalu balik-balik jadi alpha Rikuo, Shinako route will forever be unfinished. Karena Shinako satu-satunya yang tidak pernah berubah jadi tipe cowoknya juga kemungkinan besar tidak akan berubah dan tidak bisa dinego. Di akhir cerita memang Rikuo akhirnya mendapat pekerjaan tetap, but all it does is actually bring them back on the same footing, sama seperti waktu kuliah dulu. Rikuo masih butuh grinding exp lagi supaya jadi evolve ke 1 tingkat di atas Shinako, because that’s her type and lets just face it, it's tiring and probably not worth it. Karena tidak seperti Haru yang sama-sama grinding untuk level up, Shinako is like standing there waiting for you at the top of a mountain and you don't know how high exactly that mountain is.
Well basically semua masalah tentang Shinako rootnya selalu di Shinako itu sendiri, and we don’t get much chance to see how her mind works, bahkan Kei Toume sendiri mungkin gak mengerti jalan pikiran Shinako lol, and maybe that's the point because it what makes her character stay relevant. An elusive enigma that we can't understand yet we’re attracted to, and we pursue it relentlessly without thinking that maybe it’s not as valuable as it looks. But who knows siapa tau di masa depan Shinako bakal jadi seperti Kyouko. The wheel of fate keeps turning.. (halah kayak cerita beneran aja).
Bonus section: karena ini adalah cerita generasi 90an, lagunya Shinako seandainya diadaptasi dengan setting sini: Chrisye - Kisah Cintaku. Naah, just kidding it’s actually Ratu - Teman Tapi Mesra (fuck this song tbh).
This conclude my writing, sama seperti manganya yang selesai setelah epilognya Shinako, tulisan ini juga selesai setelah membahas karakternya. Sebenarnya masih ada suplemen material lain seperti Yesterday wo Utatte Day Dream Believer, light novelnya, tapi skill baca moon rune saya tidak cukup untuk level tulisan jadi entah novelnya isinya tentang apa, lalu ada manga Yesterday wo Utatte EX yang berisi cerita-cerita pendek dan informasi dari Kei Toume, lalu ada Yesterday wo Utatte Afterword yang berisi hampir sama dengan EX ditambah informasi tentang seputar animenya, seperti interview dengan Kei Toume dan sutradara animenya, dan dua buah artbook.
Of course, pada akhirnya kita bukan Rikuo (lah gimana sih katanya tadi kita adalah Rikuo) jadi meskipun serial ini terasa relatable as fuck, belum tentu what works for Rikuo works for you (or us, or maybe just me). Semoga saja kita semua endingnya bisa seperti Pak Kuma.
Comments
Post a Comment